Senin, 17 April 2017

Perbandingan Sistem Akuntansi Indonesia dengan Sistem Akuntansi di Laos

A.    Pengertian Akuntansi Internasional

Pengertian Akuntansi Internasional adalah akuntansi yang dilakukan untuk transaksi antar negara dengan membandingkan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku di negara-negara yang berlainan dan mengharmonisasikan standar akuntansi di seluruh dunia. (Iqbal, Melcher & Elmallah, 1997:18) 
Akuntansi Internasional adalah akuntansi yang mencakup semua perbedaan prinsip, metode, dan standar akuntansi disemua negara, termasuk prinsip akuntansi (GAAP) yang ditetapkan di tiap-tiap negara. Perbedaan akuntansi ini dikarenakan faktor perbedaan geografi, politik, ekonomi, sosial, dan hukum. Maka dari itu, mau tidak mau akuntan harus menguasai semua prinsip akuntansi yang berlaku disemua negara. (pendekatan akuntansi internasional menurut weirich (Belkaoui,1985)) 
Standar Akuntansi Internasional adalah IFRS (International Financial Reporting Standards). Dulunya IFRS dikenal dengan nama IAS (International Accounting Standards) yang dikeluarkan oleh IASC (International Accounting Standards Comittee / komite standar akuntansi internasional). IFRS merupakan kumpulan standar dasar prinsip akuntansi yang penerapannya dilakukan secara internasional.

B.     Perkembangan Akuntansi di Indonesia

Praktik akuntansi di Indonesia dapat ditelusur pada era penjajahan Belanda sekitar 17 (ADB 2003) atau sekitar tahun 1642 (Soemarso 1995). Jejak yang jelas berkaitan dengan praktik akuntansi di Indonesia dapat ditemui pada tahun 1747, yaitu praktik pembukuan yang dilaksanakan Amphioen Sociteyt yang berkedudukan di Jakarta (Soemarso 1995). Pada era ini Belanda mengenalkan sistem pembukuan berpasangan (double-entry bookkeeping) sebagaimana yang dikembangkan oleh Luca Pacioli. Perusahaan VOC milik Belanda-yang merupakan organisasi komersial utama selama masa penjajahan-memainkan peranan penting dalam praktik bisnis di Indonesia selama era ini (Diga dan Yunus 1997). 

Kegiatan ekonomi pada masa penjajahan meningkat cepat selama tahun 1800an dan awal tahun 1900an. Hal ini ditandai dengan dihapuskannya tanam paksa sehingga pengusaha Belanda banyak yang menanmkan modalnya di Indonesia. Peningkatan kegiatan ekonomi mendorong munculnya permintaan akan tenaga akuntan dan juru buku yang terlatih. Akibatnya, fungsi auditing mulai dikenalkan di Indonesia pada tahun 1907 (Soemarso 1995). Peluang terhadap kebutuhan audit ini akhirnya diambil oleh akuntan Belanda dan Inggris yang masuk ke Indonesia untuk membantu kegiatan administrasi di perusahaan tekstil dan perusahaan manufaktur (Yunus 1990). Internal auditor yang pertama kali datang di Indonesia adalah J.W Labrijn-yang sudah berada di Indonesia pada tahun 1896 dan orang pertama yang melaksanakan pekerjaan audit (menyusun dan mengontrol pembukuan perusahaan) adalah Van Schagen yang dikirim ke Indonesia pada tahun 1907 (Soemarso 1995). 

Pengiriman Van Schagen merupakan titik tolak berdirinya Jawatan Akuntan Negara-Government Accountant Dienstyang terbentuk pada tahun 1915 (Soermarso 1995). Akuntan publik yang pertama adalah Frese & Hogeweg yang mendirikan kantor di Indonesia pada tahun 1918. Pendirian kantor ini diikuti kantor akuntan yang lain yaitu kantor akuntan H.Y.Voerens pada tahun 1920 dan pendirian Jawatan Akuntan Pajak-Belasting Accountant Dienst(Soemarso 1995). Pada era penjajahan, tidak ada orang Indonesia yang bekerja sebagai akuntan publik. Orang Indonesa pertama yang bekerja di bidang akuntansi adalah JD Massie, yang diangkat sebagai pemegang buku pada Jawatan Akuntan Pajak pada tanggal 21 September 1929 (Soemarso 1995). 
Kesempatan bagi akuntan lokal (Indonesia) mulai muncul pada tahun 1942-1945, dengan mundurnya Belanda dari Indonesia. Pada tahun 1947 hanya ada satu orang akuntan yang berbangsa Indonesia yaitu Prof. Dr. Abutari (Soermarso 1995). Praktik akuntansi model Belanda masih digunakan selama era setelah kemerdekaan (1950an). Pendidikan dan pelatihan akuntansi masih didominasi oleh sistem akuntansi model Belanda. Nasionalisasi atas perusahaan yang dimiliki Belanda dan pindahnya orang orang Belanda dari Indonesia pada tahun 1958 menyebabkan kelangkaan akuntan dan tenaga ahli (Diga dan Yunus 1997). 

Atas dasar nasionalisasi dan kelangkaan akuntan, Indonesia pada akhirnya berpaling ke praktik akuntansi model Amerika. Namun demikian, pada era ini praktik akuntansi model Amerika mampu berbaur dengan akuntansi model Belanda, terutama yang terjadi di lembaga pemerintah. Makin meningkatnya jumlah institusi pendidikan tinggi yang menawarkan pendidikan akuntansi-seperti pembukaan jurusan akuntansi di Universitas Indonesia 1952, Institute Ilmu Keuangan (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara-STAN) 1990, Univesitas Padjajaran 1961, Universitas Sumatera Utara 1962, Universitas Airlangga 1962 dan Universitas Gadjah Mada 1964 (Soermarso 1995)-telah mendorong pergantian praktik akuntansi model Belanda dengan model Amerika pada tahun 1960 (ADB 2003). Selanjutnya, pada tahun 1970 semua lembaga harus mengadopsi sistem akuntansi model Amerika (Diga dan Yunus 1997). 
Pada pertengahan tahun 1980an, sekelompok tehnokrat muncul dan memiliki kepedulian terhadap reformasi ekonomi dan akuntansi. Kelompok tersebut berusaha untuk menciptakan ekonomi yang lebih kompetitif dan lebih berorientasi pada pasar-dengan dukungan praktik akuntansi yang baik. Kebijakan kelompok tersebut memperoleh dukungan yang kuat dari investor asing dan ­lembaga-lembaga internasional (Rosser 1999). Sebelum perbaikan pasar modal dan pengenalan reformasi akuntansi tahun 1980an dan awal 1990an, dalam praktik banyak ditemui perusahaan yang memiliki tiga jenis pembukuan-satu untuk menunjukkan gambaran sebenarnya dari perusahaan dan untuk dasar pengambilan keputusan; satu untuk menunjukkan hasil yang positif dengan maksud agar dapat digunakan untuk mengajukan pinjaman/kredit dari bank domestik dan asing; dan satu lagi yang menjukkan hasil negatif (rugi) untuk tujuan pajak (Kwik 1994). 

Pada awal tahun 1990an, tekanan untuk memperbaiki kualitas pelaporan keuangan muncul seiring dengan terjadinya berbagai skandal pelaporan keuangan yang dapat mempengaruhi kepercayaan dan perilaku investor. Skandal pertama adalah kasus Bank Duta (bank swasta yang dimiliki oleh tiga yayasan yang dikendalikan presiden Suharto). Bank Duta go public pada tahun 1990 tetapi gagal mengungkapkan kerugian yang jumlah besar (ADB 2003). Bank Duta juga tidak menginformasi semua informasi kepada Bapepam, auditornya atau underwriternya tentang masalah tersebut. Celakanya, auditor Bank Duta mengeluarkan opini wajar tanpa pengecualian. Kasus ini diikuti oleh kasus Plaza Indonesia Realty (pertengahan 1992) dan Barito Pacific Timber (1993). Rosser (1999) mengatakan bahwa bagi pemerintah Indonesia, kualitas pelaporan keuangan harus diperbaiki jika memang pemerintah menginginkan adanya transformasi pasar modal dari model “casino” menjadi model yang dapat memobilisasi aliran investasi jangka panjang. 
Berbagai skandal tersebut telah mendorong pemerintah dan badan berwenang untuk mengeluarkan kebijakan regulasi yang ketat berkaitan dengan pelaporan keuangan. Pertama, pada September 1994, pemerintah melalui IAI mengadopsi seperangkat standar akuntansi keuangan, yang dikenal dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Kedua, Pemerintah bekerja sama dengan Bank Dunia (World Bank) melaksanakan Proyek Pengembangan Akuntansi yang ditujukan untuk mengembangkan regulasi akuntansi dan melatih profesi akuntansi. Ketiga, pada tahun 1995, pemerintah membuat berbagai aturan berkaitan dengan akuntansi dalam Undang Undang Perseroan Terbatas. Keempat, pada tahun 1995 pemerintah memasukkan aspek akuntansi/pelaporan keuangan kedalam Undang-Undang Pasar Modal (Rosser 1999). 
Jatuhnya nilai rupiah pada tahun 1997-1998 makin meningkatkan tekanan pada pemerintah untuk memperbaiki kualitas pelaporan keuangan. Sampai awal 1998, kebangkrutan konglomarat, collapsenya sistem perbankan, meningkatnya inflasi dan pengangguran memaksa pemerintah bekerja sama dengan IMF dan melakukan negosiasi atas berbagaai paket penyelamat yang ditawarkan IMF. Pada waktu ini, kesalahan secara tidak langsung diarahkan pada buruknya praktik akuntansi dan rendahnya kualitas keterbukaan informasi (transparency).

C.     Sistem Ekonomi di Laos

Ekonomi di Negara Laos akir-akhir ini mengalami kenaikan, padahal pada pendataan sebelumnya Negara Laos menjadi salah satu Negara paling terbelakang di dunia, yaitu peringkat kesepuluh paling bawah. Selain itu pendapatan perkapita Negara inipun juga sudah tidak menjadi yang tersedikit diantara Negara-negara di ASEAN(Asosiation of South East Asia Nations), hal ini bias terjadi karena usaha keras yang di lakukan oleh pemerintah Negara ini. Inilah hasil-hasil ekonomi yang menunjang Negara ini :

Pertanian
Beras, jagung, katun, opium, jeruk, kopi, dan kapas merupakan komoditi utama Negara ini. Luas tanah garapan di Laos adalah sekitar 747.000 hektar. Sehingga kebanyakan penduduk di Negara ini bekerja sebagai petani. Wilayah penghasil pertanian di Negara Laos kebanyakan berada di wilayah dataran rendah .

Perikanan
Laos merupakan satu-satunya Negara di wilayah Asia Tenggara yang tidak memiliki wilayah laut sehingga miskin sumber daya perikanan, oleh karena itu Laos haru mengimpor ikan dari Negara lain untuk mencukupi kebutuhan ikan di Negaranya. Jadi wilayah perikanan Negara Laos hanya di daerah-daerah sungai saja yang belum bisa menutup konsumsi ikan rakyat Laos

Tambang
Laos memiliki hasil tambang yang juga dihasilkan oleh Negara-negara Asia Tenggara yaitu Timah, namun jumlahnya tidak terlalu banyak sehingga jumlah timah dari wilayah Negara Laos ini tidak terlalu terlihat di banding penghasilan timah Negara-negara Asia Tenggara yang Lain. Selain Timah Laos juga menghasilkan Batubara, bijihbesi (sehingga di Laos terdapat kilang-kilang besi), belerang, gibs, timbale, tembaga. Untuk wilayah penghasilnya adalah diperkirakan di wilayah dataran tinggi di Laos.

Industri
Dasar dari perindustrian di Laos lemah, antara lain adalah prossesing kayu , anyaman bambo dan kayu, hasil kayu di Laos banyak karena Laos merupakan penghasil kayu Jati dan kayu cendana, hal ini didukung dengan wilayah hutannya yang cukup luas (9juta hektar dan tingkat vegetasinya 42%) selain itu agrarinya mencapi 90%. Selain pemproses kayu perindustrian di Laos adalah pembangkit tenaga listrik, busana, makanan, bengkel reparasi kecil . wilayah perindustrian di Laos untuk pemrosesan kayu adalah di daerah dataran tinggi dan untuk busana, makanan, bengkel reparasi kecil, dan pembangkit tenaga listrik adalah di daerah kota-kota besar /pinggiran kota-kota besar.

D.    Sistem Akuntansi di Negara Laos

Satu per satu negara di dunia saat ini mulai mengadopsi IFRS. Termasuk negara Laos. Di Laos dalam menyusun standar akuntansinya telah mengadopsi IFRS. Standar akuntansi ini berlaku bagi semua jenis perusahaan termasuk perusahaan yang terdaftar di bursa. IFRS (International Financial Reporting Standard) adalah salah satu upaya untuk memperkuat arsitektur keuangan global dan mencari solusi jangka panjang terhadap kurangnya transparansi informasi keuangan. Namun sayangnya hanya sedikit informasi tentang sistem akuntansi yang digunakan oleh negara Laos.
Faktor yang mempengaruhi sistem akuntansi di Laos terdiri dari:
·         Sumber pendanaan
·         Sistem hukum
·         Ikatan politik dan ekonomi